Pendidikan
Unjuk Rasa di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur: Penolakan Pemotongan Anggaran Pendidikan
Pendemo bersatu melawan pemotongan anggaran pendidikan drastis di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, menuntut reformasi mendesak dan akuntabilitas—apa yang akan terjadi selanjutnya?

Pada 17 Februari 2025, kami berkumpul di luar DPRD Jawa Timur untuk memprotes pemotongan anggaran pendidikan yang signifikan. Ribuan dari kami bersatu, menyuarakan keprihatinan kami tentang bagaimana pengurangan anggaran ini mengancam lingkungan belajar dan peluang masa depan kami. Kami secara simbolis menonjolkan perjuangan kami dengan tindakan seperti membakar peti mati yang bertuliskan “Indonesia Gelap.” Tuntutan utama kami adalah pertemuan dengan Ketua DPRD Jatim untuk mendesak reformasi besar-besaran dalam pendanaan dan akuntabilitas pendidikan. Lebih banyak wawasan tentang gerakan menarik ini menunggu Anda.
Pada tanggal 17 Februari 2025, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Surabaya berkumpul di luar Gedung DPRD Jawa Timur untuk memprotes rencana pemotongan efisiensi anggaran pendidikan. Aksi aktivisme mahasiswa ini merupakan ekspresi ketidakpuasan kolektif kami terhadap pendekatan pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Pemotongan ini tidak hanya mengancam sumber daya pendidikan kami saat ini tetapi juga keberlanjutan pertumbuhan akademik di Indonesia.
Saat kami bersatu, seruan kami menggema urgensi pesan kami. Kami berunjuk rasa melawan ide bahwa pendidikan harus menjadi target pemotongan alokasi anggaran. Banyak dari kami mengambil tindakan simbolis, membakar sebuah peti mati bertuliskan “Indonesia Gelap,” yang secara tegas menggambarkan kepercayaan kami bahwa pemotongan tersebut akan membawa masa depan yang suram bagi sistem pendidikan kita. Aksi ini tidak hanya tentang masalah keuangan; ini tentang hak kami untuk pendidikan berkualitas dan kebutuhan akan pemerintah untuk memprioritaskan lingkungan belajar kami.
Tuntutan kami jelas: kami meminta pertemuan dengan Ketua DPRD Jatim, Musyafak Rouf, untuk menyampaikan kekhawatiran kami secara langsung. Langkah-langkah pendanaan saat ini terasa tidak efektif dan tidak memadai. Slogan yang kami angkat—”Prabowo Impoten” dan seruan untuk pendidikan gratis—menyoroti ketidakpuasan kami terhadap solusi permukaan seperti makan siang gratis sementara. Kami menginginkan perubahan substansial yang akan memastikan kebutuhan pendidikan kami terpenuhi, bukan hanya solusi cepat yang menutupi masalah yang lebih dalam.
Ketika ketegangan meningkat, polisi turun tangan untuk mengelola kerumunan yang bertambah besar, mengakibatkan konfrontasi. Kami merasa frustrasi, tidak hanya karena ketidakpedulian pejabat pemerintah tetapi juga karena tanggapan berlebihan dari penegak hukum. Kumpulan damai kami berubah menjadi adegan kekacauan, mengungkapkan keengganan pemerintah untuk terlibat dalam dialog yang bermakna dengan kami.
Protes ini menyoroti momen penting dalam perjalanan kami sebagai mahasiswa. Aksi kolektif kami menekankan kekuatan aktivisme mahasiswa dalam membentuk kebijakan pendidikan dan alokasi anggaran. Kami tidak hanya memprotes pemotongan; kami berjuang untuk masa depan kami dan hak kami untuk mengakses pendidikan berkualitas.
Saat kami berdiri bersama, kami menyadari bahwa ini lebih dari sekadar protes; ini adalah panggilan untuk bertanggung jawab dan tuntutan agar pemerintah mengakui pendidikan sebagai prioritas. Kami berharap demonstrasi ini berfungsi sebagai katalisator untuk perubahan, menginspirasi generasi mendatang untuk terus memperjuangkan hak mereka dan melawan ketidakadilan dalam sistem pendidikan.