Ekonomi
Perlambatan Ekonomi, Saatnya Kelas Menengah Lebih Bijak dan Lebih Hati-hati
Pelajari bagaimana perlambatan ekonomi menuntut kelas menengah untuk beradaptasi dan memprioritaskan pengeluaran, tetapi akankah ketahanan membawa peluang yang tak terduga?

Saat kita memeriksa lanskap ekonomi saat ini di Indonesia, jelas bahwa kelas menengah menghadapi tantangan yang signifikan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat menjadi hanya 4,87% di kuartal pertama 2025, kita menyaksikan kinerja kuartal terlemah sejak kuartal ketiga 2021. Penurunan ini lebih dari sekadar angka; itu berarti penderitaan nyata bagi jutaan individu dan keluarga.
Penurunan jumlah penduduk kelas menengah dari 57,33 juta pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta pada tahun 2024 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan ini. Bagaimana proporsi konsumsi mereka turun dari 49,80% menjadi 47,50% selama tiga dekade terakhir, kita tidak bisa mengabaikan implikasinya terhadap ketahanan finansial mereka.
PHK juga memperburuk masalah ini. Pada April 2025, tercatat 24.036 PHK, yang menambah tekanan keuangan yang sudah dihadapi kelas menengah. Angka kemiskinan juga meningkat dari 9,4% pada 2019 menjadi 10,1% pada 2021, mencerminkan pemulihan ekonomi yang belum lengkap pasca COVID-19. Situasi ini membuat banyak dari kita merasa rentan, dan semakin membebani kebiasaan konsumsi kita.
Ketika kita mempertimbangkan bagaimana tekanan ini mempengaruhi kemampuan kita untuk berbelanja, jelas bahwa stagnasi dalam pengeluaran konsumen di kalangan kelas menengah turut berkontribusi terhadap perlambatan ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tidak mampu mengikuti laju pertumbuhan PDB, menciptakan siklus inersia ekonomi.
Dalam situasi seperti ini, sangat penting bagi kita untuk memikirkan kembali pendekatan kita terhadap ketahanan keuangan. Kita perlu menyesuaikan kebiasaan konsumsi agar dapat melewati kondisi yang menantang ini secara efektif. Dengan menjadi lebih selektif dalam pengeluaran, kita dapat memprioritaskan barang dan jasa yang esensial sekaligus menghindari pengeluaran yang tidak perlu.
Sudah saatnya bagi kita untuk mengadopsi pola pikir yang lebih strategis, yang berfokus pada stabilitas jangka panjang daripada kepuasan jangka pendek. Selain itu, ketika kita berinteraksi dengan ekonomi lokal, kita bisa menumbuhkan budaya mendukung usaha kecil dan praktik berkelanjutan. Pendekatan ini tidak hanya menguntungkan konsumen individu, tetapi juga memperkuat komunitas kita.
Dengan membuat pilihan yang sadar dan mendukung inisiatif lokal, kita secara kolektif dapat melawan perlambatan ekonomi. Pada akhirnya, tantangan ekonomi yang dihadapi kelas menengah di Indonesia mungkin tampak menakutkan, tetapi mereka juga memberikan peluang untuk pertumbuhan dan adaptasi.